Nurul Yang Mandiri, Nurul Yang (tidak) Sendiri

IMG-20160724-WA0002

Saya melihat sosok perempuan itu di Minggu pagi dengan kamera yang menggantung di lehernya. Asumsi saya terhadap perempuan tersebut ketika pertama kali melihatnya adalah dia seorang penyuka photografi, juga seseorang yang narsis. Mungkin saja di memori kameranya terdapat ratusan photo dirinya dengan berbagai macam gaya, pikir saya.

Nurul Fatimah. Teman-teman memanggilnya Nurul. Belakangan saya tahu namanya saat dia mulai mempromosikan dirinya ketika sesi perkenalan pagi itu. Ya, pagi itu, saya seperti biasa ikut kegiatan dari Komunitas Aleut. Komunitas apresiasi sejarah yang salah satu kegiatan di setiap paginya mempunyai aktifitas berjalan beriringan menyusuri sudut-sudut Kota Bandung.

Pertemuan saya dengan Nurul ternyata tidak hanya berhenti sampai hari itu. Saya mulai sering berjumpa dengannya dalam kegiatan-kegiatan lain yang diselenggarakan oleh Komunitas Aleut, seperti acara Kamisan ala Aleut. Acara Kamisan ini yaitu diskusi ringan antar sesama anggota yang diadakan di sekretariat Komunitas Aleut, di jalan Solontongan 20-D. Biasanya dimulai ba’da Maghrib. Di pertemuan-pertemuan selanjutnya itulah saya mulai tahu bahwa dia berasal dari Bantul yang bekerja di sini, di Bandung. Kami mulai sering ngobrol, sekedar sharing atau bercanda dengan teman-teman lain.

Satu hal yang sedikit bikin saya kaget adalah ketika dia bilang kalau dia di Bandung ini hanya sendiri. Tadinya saya pikir dia mempunyai saudara di sini. Tapi nyatanya, dia sendiri. Sebatang kara, seperti si hachi. Hehehe…

Nurul mulai bergabung di Komunitas Aleut sejak Januari 2016 (koreksi bila saya salah, Rul). Saya tidak terlalu mengenal dia secara personal. Lalu mengapa saya berani-beraninya menulis tentang dia? Salah satu alasan saya karena ketika saya melihat dia, saya seperti berkaca pada diri sendiri. Maksudnya? Begini. Beberapa tahun ke belakang sebelum saya bergabung dengan Komunitas Aleut, saya pernah bekerja di Jogja, tidak jauh dengan tempat Nurul dilahirkan. Sama seperti Nurul, saya bekerja seorang diri, jauh dari keluarga. Apa-apa mesti sendiri, ketika sakit, ketika ada masalah, sampai kepada hal-hal kecil seperti mencuci pakaian pun harus dilakukan sendiri. Saya yang sedikit manja di rumah dipaksa harus menjadi sosok yang mandiri dengan kesendirian.

Lalu ketika saya mendapati seorang Nurul yang bekerja di Bandung, saya seperti melihat diri saya ketika di Jogja. Saya, Bandung – Jogja. Nurul, Bantul – Bandung. Kita berlawanan. Persamaannya adalah kita sama-sama datang dari daerah berbeda, harus beradaptasi dengan lingkungan baru yang mana tentu saja berbeda dengan lingkungan kita sebelumnya.

Beberapa bulan yang lalu, saya, Nurul dan Komunitas Aleut mengadakan Ngaleut ke daerah Lembang, tepatnya ke daerah Bukittunggul. Kita start di sekretariat, sebelum berangkat saya melihat Nurul membuka tasnya dan mengeluarkan beberapa makanan seperti risoles, dan makanan-makanan ringan lainnya. Ketika saya tanya makanannya beli di mana, dia menjawab “nggak beli kok, bikin”. Wihhh,,, saya dan beberapa teman melahapnya, enak. Ini serius enak ya, bukan karena kita sedang lapar atau karena makanannya gratisan. Hahahaha…

Dari kejadian itu saya sempat kepikiran, “Si Nurul rela bangun lebih pagi untuk sekedar bikin cemilan yang akan dimakannya dan juga dibagikan kepada teman-temannya, ketika saya mungkin masih tidur ngarengkol berperang dengan dinginnya udara pagi”. Duhh,,, idaman. Kalau kayak gini suka pengen ngasih emot titik dua bintang. Hihihi…

Begitulah Nurul, dalam kemandiriannya yang saya kenal. Ternyata dia di Bandung tidak sendiri. Kami sama-sama bergaul, saling rangkul yang pada akhirnya kebersamaan itu timbul. Maka ketika dia berpamitan untuk mudik ke kampung halamannya agar bisa menuntaskan rindu  dengan keluarganya di Bantul, saya sempat menitipkan pesan kepada kedua orantuanya, pesan sebagai teman.

IMG-20160725-WA0000

Untuk perempuan yang berani pergi “keluar” seperti Nurul bagi saya adalah sesuatu yang wajar dan biasa. Saya yakin, orangtuanya di Bantul pasti cemas ketika melihat anaknya harus mengembara ke “kota orang”. Hal itu juga yang orang tua saya rasakan ketika saya harus pergi ke Jogja untuk bekerja. Ada satu pelajaran bagi saya dalam hal ini, tadinya saya berpikir kalau perempuan yang merantau ke “kota orang” sendirian resikonya jauh lebih besar ketimbang laki-laki, merujuk kepada kesamaan saya dan Nurul yang sama-sama merantau, namun ternyata tidak demikian. Ketika kita bepergian, ternyata tidak hanya perempuan yang mesti berhati-hati, laki-laki juga. Resiko kejahatan pada dasarnya sama. Tidak memandang perempuan atau laki-laki. Walaupun perhatian dan juga saling mengingatkan tentu saja tetap mesti dilakukan. Ini saya perhatikan karena masih banyak orang yang kadang-kadang memperlakukan perempuan tidak boleh merantau, tidak boleh pergi jauh-jauh sendirian. Dan hal itu menurut saya membuat ruang gerak perempuan itu sendiri terbatas. Kaku.

Semoga Nurul Fatimah menginspirasi “Nurul-Nurul” yang lainnya.


3 respons untuk ‘Nurul Yang Mandiri, Nurul Yang (tidak) Sendiri

Tinggalkan Balasan ke Akay Batalkan balasan